SATUHABAR.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), menyatakan bahwa ekonomi Islam adalah sistem yang fleksibel dan relevan di setiap era, bukan sistem yang harus dipaksakan kembali ke masa lalu. Hal itu ia sampaikan saat memberikan sambutan pada Muktamar ke-5 Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Kamis malam.
“Ekonomi Islam itu sesuai dengan jamannya. Jadi, jangan merasa bahwa ekonomi Islam harus kembali ke abad ke-6 atau ke-13,” ujar JK di hadapan para peserta muktamar.
Pernyataan ini sekaligus menjadi pengingat bahwa prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat terus berkembang dan beradaptasi dengan tantangan modern, asalkan tidak meninggalkan nilai dasar keadilan, transparansi, dan kesejahteraan umat.
Prinsip Ekonomi Islam: Adil, Jujur, dan Menolak Monopoli
JK menekankan bahwa untuk memahami dan menerapkan sistem ekonomi Islam, masyarakat harus memahami esensi dan nilai-nilai utama dalam muamalah (interaksi sosial ekonomi dalam Islam). Esensi tersebut meliputi:
Kesejahteraan dan keadilan sosial
Transparansi dan keterbukaan
Larangan terhadap monopoli dan spekulasi
Persaingan usaha yang sehat
Kejujuran dalam setiap transaksi
“Ekonomi Islam mengajarkan bahwa kita tidak boleh menipu, tidak boleh berspekulasi, dan tidak boleh memonopoli pasar,” tegas Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia ini.
Riba Perlu Dipahami Secara Kontekstual
Salah satu isu yang kerap menjadi perdebatan dalam praktik ekonomi Islam adalah riba. Menurut JK, riba perlu dipahami dari sisi dampak sosial dan ekonomi, bukan semata dari istilah atau label.
Ia mencontohkan bunga pinjaman tinggi yang membebani masyarakat sebagai bentuk riba yang merugikan. Namun, untuk bunga ringan seperti yang diterapkan dalam Kredit Usaha Rakyat (KUR)—yang berkisar 6-7 persen—JK menilai masih dalam batas kewajaran dan tidak memberatkan.
“Kalau bunga 20 persen, jelas itu memberatkan dan mendzalimi. Tapi 6–7 persen, seperti di KUR, itu masih wajar,” ujarnya.
JK juga mengingatkan bahwa tidak ada sistem ekonomi yang bisa berjalan stabil jika bunga terlalu tinggi.
Ekonomi Islam: Jalan Tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme
Lebih lanjut, JK menggambarkan ekonomi Islam sebagai sistem yang mengambil sisi terbaik dari kapitalisme dan sosialisme. Ia mengatakan, Islam mengadopsi mekanisme pasar seperti kapitalisme, namun tetap menekankan prinsip keadilan dan perlindungan sosial seperti sosialisme.
“Ekonomi Islam mendukung perdagangan yang adil dan terbuka, tapi tetap menjunjung moralitas. Tidak boleh ada penindasan, spekulasi, atau monopoli,” jelasnya.
Dengan prinsip seperti ini, JK menilai bahwa ekonomi Islam mampu menjawab tantangan global, mengurangi kesenjangan, dan menyejahterakan masyarakat.
Ekonomi Islam Harus Kontekstual, Bukan Dogmatis
Jusuf Kalla menutup sambutannya dengan mengingatkan bahwa sistem ekonomi Islam harus dimaknai sebagai nilai yang hidup, bukan dogma yang kaku. Ia mendorong para ahli dan pelaku ekonomi syariah untuk lebih adaptif dan inovatif dalam merespons perubahan zaman, tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar yang diajarkan Rasulullah SAW.
“Jangan diberat-beratkan. Tapi juga jangan dimudah-mudahkan. Laksanakan saja prinsip yang tidak dilarang dan tidak merugikan,” pungkas JK. (*)
SUMBER: Liputan6.com