![]() |
| Jemaah menghadiri Haul Guru Sekumpul. Foto: dok Media Center Provinsi Kalimantan Selatan |
SATUHABAR.COM, KALSEL - Martapura - Kalimat itu meluncur pelan, nyaris tanpa penekanan. Namun seketika, suasana majelis berubah hening.
“Nanti kalau aku meninggal dunia, kantor, bank, sekolah, madrasah, semua akan tutup.”
Para jemaah terdiam. Ada yang menunduk, ada yang memejamkan mata, membayangkan kehilangan sosok ulama yang selama ini menjadi peneduh jiwa. Beberapa detik yang terasa panjang itu, seolah diisi perasaan pilu yang tak terucap.
Lalu, senyum tipis muncul di wajah Abah Guru Sekumpul. Dengan nada ringan, ia melanjutkan, “Itu kalau aku meninggal di hari Ahad. Hari libur.”
Tawa pun pecah. Ketegangan luruh seketika. Candaan sederhana itu bukan sekadar humor, melainkan cermin kepribadian KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al-Banjari—ulama besar yang dikenal hangat, rendah hati, dan selalu dekat dengan umatnya.
Kenangan semacam itulah yang setiap tahun hidup kembali di Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Setiap tanggal 5 Rajab, kota kecil ini berubah menjadi lautan manusia. Jalan-jalan dipenuhi langkah kaki yang datang dari berbagai arah, membawa satu tujuan yang sama: menghadiri Haul Guru Sekumpul.
Bagi jutaan jemaah, haul bukan sekadar peringatan hari wafat. Ia adalah perjalanan batin, ruang pertemuan spiritual, sekaligus momen pulang bagi mereka yang rindu pada keteladanan seorang guru.
Abah Guru Sekumpul wafat pada 10 Agustus 2005, bertepatan dengan 5 Rajab 1426 Hijriah. Namun ajarannya tidak ikut pergi. Ia hidup dalam pengajian, majelis taklim, dan paling terasa saat haul—ketika cinta kepada sang guru menjelma menjadi kebersamaan yang tak mengenal batas geografis maupun sosial.
Awalnya, haul dilaksanakan sederhana. Keluarga dan murid-murid dekat berkumpul, membaca tahlil, dan memanjatkan doa. Tidak ada panggung besar, tidak ada kerumunan jutaan orang. Namun dari kesederhanaan itulah, tradisi ini tumbuh perlahan, digerakkan oleh kerinduan yang sama.
Tahun demi tahun, jumlah jemaah terus bertambah. Mereka datang dari berbagai penjuru Kalimantan, Jawa, Sumatra, hingga luar negeri. Tidak ada undangan resmi. Tidak ada kewajiban hadir. Yang ada hanyalah panggilan hati.
Tahun 2025 menjadi momen istimewa. Dalam satu tahun Masehi, Haul Guru Sekumpul berlangsung dua kali. Bukan karena direncanakan, melainkan karena pergeseran kalender Hijriah yang lebih singkat. Bagi jemaah, ini bukan keanehan, melainkan anugerah—kesempatan ganda untuk menimba keberkahan.
Pusat kegiatan tetap berada di Mushola Ar-Raudhah Sekumpul. Dari tempat inilah zikir bergema, doa dipanjatkan, dan tausiyah disampaikan. Namun sesungguhnya, haul tidak hanya berlangsung di mushola. Ia hidup di sepanjang jalan, di rumah-rumah warga, di tenda-tenda sederhana yang berdiri sukarela.
Di sepanjang rute menuju Sekumpul, pemandangan yang sama selalu hadir: dapur umum, pos istirahat, air minum gratis, bahkan layanan transportasi tanpa bayaran. Semua disediakan dengan satu niat—melayani tamu guru.
Tidak ada hitung-hitungan untung rugi. Yang ada hanya keikhlasan dan gotong royong. Inilah wajah Martapura saat haul: kota yang membuka pintunya lebar-lebar, menjamu jutaan orang dengan senyum dan ketulusan.
Haul Guru Sekumpul pada akhirnya bukan hanya tentang mengenang wafat seorang ulama. Ia adalah cerita tentang cinta yang diwariskan, tentang ajaran yang hidup dalam tindakan, dan tentang kebersamaan yang tumbuh dari kesederhanaan.
Ketika ribuan, bahkan jutaan orang duduk bersimpuh dalam doa, Martapura seakan berhenti sejenak. Di sanalah, cinta kepada seorang guru menjelma menjadi kekuatan yang menyatukan—tenang, hangat, dan abadi. (*)
(yus/satuhabar)
